Keluh Kesah Baru Patah Hati

8:14 AM

Aku tau, semua hal di dunia ini nggak ada yang akan berlangsung selamanya. Setiap ada permulaan, pasti ada akhir. Entah itu akhir yang indah atau akhir yang pahit, yang pasti semua itu akan berakhir. Entah karena memang secara natural, mati, atau karena manusianya sendiri memilih untuk mengakhirinya.

Begitu pula dengan sebuah hubungan.
Kadang sebuah hubungan yang menurut kita sudah sempurna, tapi jika ada sesuatu di tengah jalan yang kita bahkan tidak tahu kapan datangnya, bisa saja berakhir. Tapi sebenarnya keputusan sebuah hubungan tersebut memang berada di tangan pelakunya. Tuhan memang memberi petunjuk, namun yang membaca petunjuk tersebut tetap saja pelakunya. Bisa saja pelakunya salah menafsirkan ataupun memang benar itu yang ditunjukkan oleh Tuhan. Yang bisa tau hanya waktu.

Sebenernya blog kali ini ditujukan untuk segala uneg-uneg yang nggak bisa tersampaikan baik kepada orang yang dituju ataupun pas curhat. Yang pertama, karena kayaknya timing yang ga tepat plus kalo ngomong langsung bisa ada emosi yang menambah bumbu-bumbu dalam percakapan. Takut malah tersinggung. Kalo yang kedua, karena belum nemu temen curhat yang ga ngejudge selain psikolog saya. Namun karena lagi bokek, jadi mending curhatnya di blog aja ya.

Nama disamarkan, sekali lagi nama disamarkan.

Pacaran sudah lebih dari 5 tahun, tentu wajar dong kalau membayangkan sesuatu yang lebih serius ke depannya. Apalagi umur memang sudah masa-masanya.
Tapi semakin ke sini, merasa cinta aja nggak cukup untuk melangkah ke jenjang berikutnya. Ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan untuk hidup berdua, karena nanti kita nggak akan hidup berdua, tapi proses persatuan dua keluarga. Ya mau nggak mau, ini harus diterima karena adat budaya Asia memang seperti ini.

Yang pertama adalah tanggung jawab pasangan. Menurutku satu point utama yang membuat saya berpikir dia layak menjadi kandidat adalah keinginan dia untuk berusaha dan memenuhi tanggung jawabnya. Karena nantinya sebagai kepala keluarga dia harus bertanggung jawab dengan segala sesuatu yang akan terjadi. Memang bakal ada saya yang selalu setia menemani, tapi jujur peran ini lebih cocok dipegang oleh laki-laki. Karena mereka akan berpikir secara logika dulu, sedangkan wanita akan lebih mengutamakan perasaan.

Trust issue saya daridulu adalah kuatir dia tidak bisa melakukan ini. Akhirnya setelah saya bilang perasaan ini ke dia, iya, kami bertengkar lumayan lama dan sengit. Namun saya tidak tinggal diam begitu saja. Saya konsultasi ke beberapa teman yang sudah menikah, ke dua psikologi, baca-baca kisah orang dengan seperti saya. Sambil menunggu bagaimana reaksi dia selanjutnya.
Alhamdulillah dia mulai ada perubahan, saya nggak tau kenapa. Mungkin karena saya sudah berbekal banyak cerita, pengalaman dan wejangan dari banyak orang. Sebagai seorang Alpha Woman, rasa khawatir saya sedikit berkurang karena sudah tahu posisi saya di mana dan bagaimana saya harus memperlakukan pasangan saya. Atau karena mungkin dia sudah sadar dan mau sedikit berbenah diri. Saya jelas tidak tahu itu sampai sekarang, tapi saya bangga dengan dia atas perubahan ini.

Hal kedua yang menjadi masalah dalam hubungan ini adanya missunderstanding dari pihak keluarga. Seperti yang sudah saya bilang di atas, sebuah pernikahan dan persatuan antar dua keluarga tidak bisa dipisahkan dalam adat Asia. I'm okay with that, malah seneng lo kalo keluarga bertambah. Rasanya rame!
Tapi ternyata rasa ketidaksukaan ini sudah terpendam dari keluarganya sejak lama. Sampai sekarang saya juga nggak tau penyebabnya apa. Memang bisa jadi kalau orang nggak suka, ya emang nggak suka aja. Nggak ada alasan spesifik. Ini pernah kok saya rasakan.
Awalnya saya pikir rasa ketidaksukaan ini hanyalah kekhawatiran belaka. Sebatas khawatir anak lanang punya seseorang yang sedikit lebih diperhatikan daripada keluarganya. Namun lama kelamaan saya merasa hal ini sudah nggak masuk akal sehat, udah kayak di sinetron FTV. Saya tahu bagaimana ikatan dia dengan orangtuanya. Mereka terikat sangat kuat, dan saya sangat berusaha memahami bahwa rasa ketidaksukaan ini berawal dari rasa iri karena ada seseorang yang sedikit lebih diperhatikan. Saya bahkan sudah mempersiapkan batin saya dari lama untuk bisa tinggal serumah jika memang kami berada di jenjang selanjutnya. Bagi cewek atau cowok, nggak mudah lo menerima untuk mengurus orang tua pasangan. Nggak usah orang tua pasangan, kadang orang tua sendiri aja belum tentu semua mau. Teori ini sudah berkali-kali saya buktikan di lingkungan sekitar saya.

Di pertemuan siang ini, pertemuan terakhir mungkin, saya hanya tanya dua hal ke dia.
"Kamu masih cinta sama aku?"
"Kamu masih mau berjuang sama aku?"
Ternyata saya nggak mendapat jawaban yang memuaskan dari kedua pertanyaan itu. Selalu ada alasan dan keraguan di setiap jawabannya. Padahal dalam hati saya, kalau ditanya pertanyaan itu dan dilanjutkan dengan "Kenapa?" bakal saya jawab, " Nggak tau, aku yakin aja. Mungkin karena cinta."

[yap disini saya sadar bagaimana cinta bisa membuat buta walau sudah bertahun-tahun]

Padahal yang saya tahu, untuk masalah ini saja saya sudah dapat pelajaran dari orangtua saya sendiri. Walaupun tidak selalu bahagia, tapi saya merasa mereka sama-sama berjuang untuk berdua. Tapi bisa jadi karena kami, anak-anaknya.
Intinya saya yakin ada cara untuk hal seperti ini. Dari pengalaman orang, minta bantuan pihak ketiga, atau lebih ke medis, seperti ke psikolog untuk tahu langkah tepat apa yang harus diambil.

Tapi saya nggak menangkap adanya keinginan itu dari dia.
Marah.
Dongkol.
Sebel.
Super marah.
Iya, saya merasa sudah berlegowo dengan keadaannya. Sudah punya solusi akan kekurangannya, sehingga saya bisa menerima. Tapi apa yang saya dapat cuman kata menyerah.

Jujur tahu hal ini pertama kali bikin saya shock. Beberapa hari sempat bedrest, kemudian berusaha menguatkan diri. Tapi ternyata alam bawah sadar saya yang masih belum menerima ini semua, hingga sampe sekarang ada aja keluhan mulai dari maag, migren sampe diare.

Iya, saya tahu semua butuh proses. Semoga proses ini bisa saya nikmati dengan lebih fokus pada pengembangan diri saya.

Buat kamu,...
Nggak mudah lo melupakan kamu. Terimakasih buat selama ini, kamu berarti buat saya. Selalu ada di setiap saat. Tapi kalau memang kamu sudah nyerah, saya bisa apa. Saya minta maaf buat semua sikap saya selama ini, asal tahu saja niat saya sama kamu selalu baik dan ingin yang baik-baik buat kamu. Mungkin penyampaiannya yang salah.
Nggak, hubungan kita nggak akan putus tus. Nggak mungkin dong kita sudah kenal bertahun-tahun lalu putus gitu aja. Saya janji sama diri saya, saya akan selalu jawab chat atau sapaan kamu. Selalu bantu kamu saat kamu sedang ada masalah, semampu saya.
Cuman saya mohon setahun ini biar saya sendiri dulu. Jangan ganggu saya. Jangan ganggu saya hanya untuk sekedar berbasa-basi. Saya ngga mau tau dulu tentang kehidupan pribadimu. Asal kamu tau ini juga berat buat saya. Tapi saya sadar, saya ini orang yang gampang terbawa perasaan. Kemunculanmu setelah hal ini bakal bikin saya lebih sulit untuk moving on. Jadi maaf ya kalau sedikit kejam.


You Might Also Like

0 comments

Total Pageviews

Warung Blogger

Flickr Images